Home Literasi Kartini, Perempuan dan Keluarga

Kartini, Perempuan dan Keluarga

47
0

“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali kali karena kami menginginkan anak anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi perempuan, agar perempuan dapat lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yag pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Mengenang perjuangan RA Kartini selalu mengingatkan kita tentang tuntutan emansipasi dan kebangkitan gerakan perempuan. Emansipasi yang menuntut agar perempuan mendapatkan kebebasan, merdeka dan berdiri sendiri. Namun jika kita telaah lebih dalam surat RA Kartini kepada teman korespondensinya di atas, tuntutan yang diinginkan Kartini adalah pengajaran dan pendidikan untuk perempuan bukan untuk menyaingi kaum laki-laki namun agar perempuan dapat lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu.

Karena bagi Kartini perjuangan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan pada masa itu, bukan berarti perempuan meninggalkan peran dan fungsi sesuai kodratnya, yaitu sebagai seorang istri, dan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya.

Dalam pandangan Kartini, kondisi tradisi, adat istiadat buatan manusia serta penjajahan yang mengabaikan nilai kemanusiaan pada akhirnya akan merusak tatanan sosial. Karena itu Kartini tahu darimana dan bagaimana cara memulainya. Perempuan  sebagai pendidik pertama harus mendapatkan hak pendidikan yang memadai untuk menjalankan peran dan fungsinya. Tugas peradaban yang diemban oleh perempuan membutuhkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan yang bisa diperoleh dari pendidikan. Karena perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula. Bagaimana perempuan dapat menjadi pendidik jika dirinya sendiri saja tidak terdidik?

Tugas mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik merupakan kemuliaan yang dianugerahkan bagi perempuan. Karena itulah Allah anugerahkan karakter tertentu kelembutan, kesabaran, ketelatenan, keindahan pada pribadi perempuan. Dengan karakter tersebut, perempuan akan  memberikan kelembutan dan kasih sayang ketika merawat anak-anaknya, mengajar dan mendidik mereka dengan sabar, memberikan teladan dalam bersikap, menghibur dan mendengarkan curahan hati anak-anaknya.

Orang tua memiliki tugas utama mendidik anak-anaknya. Dalam relasi antara anak dan orang tua yang secara kodrat mencakup unsur pendidikan untuk membangun kepribadian anak dan mendewasakannya, maka orang tua menjadi agen pertama dan utama yang mampu dan bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat, akhlak yang terpuji, cerdas, kreatif, mandiri dan peduli terhadap sesama.

Perempuan sebagaimana lelaki menjadi satu kesatuan yang harmoni dalam mengampu sebuah kekuatan utama bangsa: Keluarga. Satu sama lain saling mengisi, tolong menolong, berlomba dalam kebaikan sesuai dengan potensi yang dianugerahkan pencipta. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proposional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan amanah penciptaan manusia. Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi  nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Satu sama lain menyatukan hati untuk menghadirkan energi cinta bagi anak-anak agar mereka dapat hidup terlindungi.

Kemitraan perempuan dan laki-laki dalam keluarga pun termasuk dalam hal pengasuhan dan pendidikan anak. Ayah juga harus ikut berperan agar setiap anak memiliki katakter yang seimbang dan jiwa yang sehat sesuai fitrahnya. Anak membutuhkan tokoh ayah secara fisik dan psikologis. Pengasuhan selayaknya tidak dilimpahkan ke orang lain selain orang tua itu sendiri. Karena hakikatnya pengasuhan merupakan pengajaran yang  selaras antara ucapan dengan contoh perbuatan tersebut. Termasuk  bagaimana anak tersebut mencintai amal kebaikan dan menggenggam prinsip keimanan  yang dicontohkan oleh orang tuanya.

Ketika satu kesatuan yang harmoni ini sudah bersinergi dengan baik, maka akan tercipta keluarga yang kokoh. Keluarga merupakan unit sosial dari masyarakat. Jika terjadi degradasi dalam keluarga maka akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. Sebaliknya, Keluarga yang berkualitas memiliki peran besar dalam terjadinya transformasi sosial terhadap bangsa dan negara.

Keluarga Berkualitas, menurut definisi versi baru BKKBN, ialah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejahtera berarti sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehat mencakup sehat jasmani, rohani, dan sosial. Maju bermakna memiliki keinginan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri dan keluarganya guna meningkatkan kualitasnya. Berjiwa mandiri diartikan memiliki wawasan, kemampuan, sikap dan perilaku tidak tergantung pada orang lain.

Berwawasan berarti memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas, sehingga mampu, peduli, dan kreatif dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat secara sosial. Harmonis mencerminkan kondisi keluarga yang utuh dan mempunyai hubungan yang serasi di antara semua anggota keluarga. Yang terakhir dan paling utama, bertakwa berarti taat beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya.

Mengenai ketaatan terhadap ajaran agama, Kartini pun sangat menyadari pentingnya hal ini. Tidak banyak yang mengetahui mengenai keinginan Kartini menjadi seorang muslimah sejati, seperti tertulis dalam suratnya,

”Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu : Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)

Bahkan Pandangan kartini tentang Barat-pun berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri. Ini tercermin dalam salah satu suratnya,

”Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)

”Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang yang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)

Walaupun Kartini seorang perempuan, sejatinya tidak hanya memperjuangkan perempuan. Kartini  memperjuangkan hal-hal mendasar yang sepatutnya dimiliki Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.  Kartini menghendaki terjadinya perubahan sosial yang lebih baik di masyarakat dengan memberikan hak memperoleh pendidikan yang layak.

Membangun masyarakat  dengan memulai membangun keluarga yang kokoh melalui pengajaran serta memberikan keterampilan kepada perempuan. Hal ini beliau wujudkan melalui perjuangannya dengan merencanakan mendirikan Sekolah

Khusus bagi perempuan di rumahnya.  Di satu sisi kepeduliannya pada masalah ekonomi juga beliau tunjukkan dengan melakukan pendampingan kepada para pengrajin ukiran.  Kartini membantu membuka akses promosi bagi produk lokal di daerahnya, diantaranya ke Batavia.   Sekali lagi,  Kartini menyadari pentingnya membangun keluarga yang kokoh untuk hadirkan bangsa yang berkualitas.

Oleh : T. Farida Rachmayanti
Ketua Bidang Perempuan & Ketahanan Keluarga
DPD PKS Kota Depok 2015-2020