Pandu Keadilan telah berbaris rapi di halaman kantor Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Depok dengan pakaian kebesaran warna khas layaknya seorang para pasukan yang siap siaga sebelum berjuang. Ada satu orang laki-laki menonjol di antara para pandu lain. Wajahnya sudah terpahat usia, rambutnya tak lagi menghitam. Ia tampil membawakan taujih rabbani (tilawah) dengan menggunakan TOA tanpa mushaf, selepas sambutan Ketua DPD PKS Depok, Muhammad Hafid Nasir, Jumat (25/3) siang setelah Jum’atan.
“…ashabul jannati humul faizun.”
Siapa sebenarnya peserta yang paling berumur di antara peserta lainnya itu? Mencoba bertanya orang yang sedang berdiri dekat pintu, ia tidak tahu. Bertanya ke rekan wartawan teve juga sama. Nihil. Keterlambatan mengikuti rangkaian agenda awal menghilangkan satu identitas nama.
Belum juga menemukan namanya, rombongan siap-siap dengan roda duanya. Pawai pun dimulai. Di jalan menuju Bogor siang itu, langit yang mendung pun tak malu lagi untuk menumpahkan air hujan. Dingin dan rintiknya makin memacu para pandu keadilan itu untuk terus jalan. Panji PKS yang dipegang peserta berkibar-kibar ditiup angin.
Kemah Peduli Pandu Keadilan adalah program dwi tahunan untuk Pandu Keadilan. Tahun ini Depok berlangsung tiga hari, dari Jumat (25/3) hingga Ahad (27/3). Diikuti oleh 70 peserta dari seluruh DPC se-Depok di Gunung Bunder, Bogor.
Namanya Bajuri (54). Akhirnya memperoleh nama bapak itu, dari obrolan dengan salah seorang peserta. Menyebut namanya sekilas teringat dengan nama lakon utama dalam situasi komedi yang dibintangi oleh Mat Solar, “Bajaj Bajuri”. Sayangnya, dia tidak tambun seperti Bajuri pada sitkom tersebut. Badannya tegap dan perut yang tak begitu buncit.
“Beliau sehari bisa naik sepeda hingga 20 kilometer, lho!” kata seorang peserta sambil membenarkan duduknya di aula saung. Jumat malam peserta yang sudah mendirikan tenda memang diminta berkumpul di aula yang tak terlalu luas itu.
Ketua Badan Kepemudaan dan Olahraga (BKO) DPD PKS Depok, Sukardi memberikan arahan dan sambutan tentang kegiatan tersebut.
“Benteng pertama itu kepanduan. Benteng terakhir itu kepanduan dan benteng pinggir itu kepanduan,” ungkapnya di saung berdinding kombinasi bambu itu.
Yang tidak terbiasa, katanya, dengan kedisiplinan akan menjadi beban. Peserta tampak antusias menyimak penuturan laki-laki berkaca mata itu.
***
Sabtu (26/3) pagi, tenda – tenda berdiri di bukit yang dipenuhi tanaman hijau dan pohon menjulang. Tampak peserta menyalakan kompor portable dan menuangkan air ke panci persegi empat di atas. Sekadar untuk membuat minuman sereal atau mi instan. Terdengar celotehan, operan candaan dan ada pula suara lembut alunan bacaan alquran dari tenda peserta.
Para peserta dipanggil dengan peluit sakti untuk berkumpul dan berbaris rapi. Sekadar peregangan dan senam-senam kecil. Selepas itu mereka siap mendaki gunung. Tanpa gawai, hanya suara takbir sepanjang perjalanan.
Bermodal kamera handycam, akhirnya penulis mengikuti perjalanan tersebut. Dan menemukan bapak tua Bajuri di tengah perjalanan. Sejauh pengamatan, ia sibuk melafalkan hafalan Al-Qurán. Tak tega untuk mengajak obrolnya, tampak khusyuk sekali. Sementara tugas merekam momen tersebut tak boleh terlewatkan.
Sepanjang jalan peserta melewati semak belukar, berlumpur nan licin, duri tanaman yang kadang menghadang, batang pohon yang melintang, benar-benar penuh tantangan bagi seorang Pandu Keadilan sejati. Dan juga lagi merayap di tanah berlumpur yang sudah disetting oleh panitia. Namun sepertinya mengalahkan keegosentrisan di tengah perjalanan dan mengedepankan persaudaraan harus tetap ditekankan. Naik gunung nyatanya tentang mengalahkan keegoan.
Para pandu keadilan sekali waktu istirahat untuk sekadar mengatur nafas, minum air putih yang dibawa dan berbagi minum kepada rekan yang habis bekal air minumnya. Sebelum sampai ke puncak, mereka diminta berkumpul, membentuk barisan untuk memastikan jumlah kelompoknya masing-masing masih utuh atau tidak. Lalu diminta bergegas memeluk pohon ketika mendengar aba-aba dari komandan tak terkecuali Pak Bajuri. Sekali waktu penuh candaan namun tetap dalam kesiap-siagaan ketika mendengarkan perintah.
Dua jam berjalan akhirnya mereka sampai di puncak, Kawah Ratu. Wajah-wajah lelah tampak semringah. “Kalau kentut tidak ketahuan nih,” celetuk salah seorang peserta. Mereka memang berada di kawasan penuh belerang, bebatuan serba putih dan aroma batu alam yang sebelas dua belas dengan “gas” manusia.
Dua hari aktivitas bergulir dan berjalan lancar, namun sangat lambat untuk sekadar wawancara Pak Bajuri. Agenda kegiatan sangat padat. Sabtu sore sekembalinya dari puncak ketik tiba lokasi semula, hujan turun sangat deras. Petir berkilat-kilat, sekali waktu meletus seperti petasan. Peserta berteduh di tenda yang tampias, dingin namun hangat oleh ukhuwah. Malam Ahad, lampu pun mati. Lengkap. Gelap-gelap dan dingin-dingin namun masih terdengar alunan Al-Qur án yang dibaca melalui ponsel cerdas. Misi untuk bertemu Pak Bajuri nampaknya gagal.
Seusai Isya akhirnya lampu menyala. Hujan pun reda. Peserta diminta tampil “pentas seni” sesuai dengan DPC masing-masing. Posisi peserta yang sedang menonton begitu rapat teramat susah untuk mendekati Pak Bajuri, dan lagi tak begitu kondusif. Malam berpihak untuk bertemu dengan Pak Bajuri.
“Iya, dia memang peserta paling berumur,” kata seorang panitia senior. Para peserta memang rata-rata berumur 20-an hingga 40-an tahun.
***
Ahad pagi peserta berkemas untuk pulang. Tenda-tenda sudah digulung dan dilipat. Tas-tas sudah penuh kembali dengan pakaian—yang sudah kotor oleh lumpur. Dikumpulkan kembali membentuk barisan rapi, saling berangkulan meminta maaf. Kamera handycam sudah tidak bekerja lagi.
“Nama saya Bajuri,” katanya yang berdiri di pinggir jalan, menanti motor temannya untuk berboncengan bersama.
Ia pun menuturkan bahwa dirinya memang rajin berolahraga. Yang ia sukai adalah bersepeda.
“Biasanya 20 kilometer dalam sehari,” terangnya. Wah!
Kadang, katanya, kalau hari libur seperti hari Ahad, ia akan bersepeda di car free day atau di Senayan, Jakarta. Sekali waktu mengajak anaknya. Untuk acara bersama ini, sebenarnya ia dilarang oleh istrinya. Sebab sudah terlalu tua untuk ikut kepanduan. Lalu apa yang membuatnya nekat ikut?
“Tentu biar sehat jasmani dan ruhiyah. Karena kita harus siap siaga kapanpun,” katanya.
Dengan jeda napas, ia mengungkapkan sesuatu yang tampaknya agak berat. “Ini cara saya menjinakkan asma,” akunya. Masya Allah.
Muhammad Solich Mubarok
#RelawanLiterasi