Home Literasi Memahami Perasaan Sandal

Memahami Perasaan Sandal

16
0
SANDAL

Memahami perasaan seseorang mungkin sangat sulit dilakukan. Tidak berkata kasar, tidak menyakiti dengan kata-kata penuh caci atau tidak mengungkit-ungkit masa lalu yang membuat orang tersinggung. Namun bagaimana jika harus memahami perasaan sandal? Tunggu, memahami perasaan sandal? Kenapa harus memahami perasaan sandal? Apakah sepasang sandal tersemat sebuah perasaan?
Sandal memang bukan manusia yang bisa baper (bawa perasaan). Namun tunggu dulu, kita berpikir sejenak tentang posisi dan kedudukannya. Dia, sandal, sering diajak hujan-hujanan, panas-panas di aspal yang panas. Posisinya selalu diinjak-injak. Karena diinjak-injak dan berada di bawahlah ini dia mempunyai daya guna. Selain itu, sandal jika sendirian, dia tidak mendatangkan manfaat. Dipakai juga membuat orang tampak pincang jalannya. Paling ngetop juga buat melempar anjing liar di depan gang yang sering gangguan kita. Dia, sandal, selalu jalan berdua dengan pasangannya.  Kanan dan kiri. Tidak sesama jenis. Kanan dengan kanan, atau kiri dengan kiri. Dia bisa dibawa-bawa ke mana-mana. Ke warung, ke kamar mandi hingga dibawa ke masjid.  Yang terakhir disebut, sandal kerap tertukar, terpencar jauh, atau hilang dipakai orang lain ketika di masjid. Hal ini kadang dialami kamu ketika sedang Jumatan.
Nyatanya, kasus sandal dipinjam orang tanpa bilang (goshob) tidak hanya terjadi di masjid.  Ceritanya, suatu kali seorang mahasiswa yang nyambi kerja berangkat kuliah dari tempat kerja. Karena buru-buru, ia tidak memakai sepatunya, melainkan pakai sandal—kampusnya memperbolehkan memakai sandal– yang ada di depan ruang kerja. Sesampai di kampus ketika wudhu Maghrib, ia bertemu dengan rekan kerjanya yang kebetulan sedang ada keperluan di kampus tersebut.
“Lho, sandal saya kok ada di sini?” Tanya sang rekan tersebut heran.
Sang pemuda yang hampir memakai sandalnya, hanya nyengir saja dan mengatakan dia yang memakai sandal itu karena buru-buru.
“Oalah, pinjam sandal kok ndak bilang-bilang. Sampai bingung saya mencarinya.”  Kata rekan yang empunya sandal gunung itu.
Sepulang kuliah sang pemuda itu berniat mengembalikan sandal tersebut ke kantor dan memakai kembali sepatunya. Dan itu sudah terlaksana dengan baik. Ia mengembalikan sandalnya tepat pada posisi semula.
Ketika sampai di kostan, ia dibuat heran. Sandalnya raib. Hilang. Apakah ini sebuah karma? Ah, Islam tak mengenal karma. Mungkin ini teguran dari Allah karena ia pinjam sandal tanpa izin. Eh, diulangi lagi, ketika sholat shubuh terpaksa ia goshob sandal teman kostannya agar bisa ke masjid. Ketika jelang berangkat kerja ia menanyakan tentang kehilangan tersebut ke ibu kost barangkali tahu. Sayangnya ibu kost tak tahu menahu, hanya menyarankan sandalnya diminta bawa masuk saja jangan ditaruh di luar. Padahal, sandal yang hilang itu baru ia beli dua bulan lalu.
Kembali lagi memahami perasaan sandal. Sandal memang tak punya hati maka itu tak mungkin pula kita memahami perasaan. Sandal juga tidak mungkin akan baper seperti kita ketika melihat gadis incaran dipinang teman. Tapi kita bisa memahami perasaan sandal dengan membawanya ke tempat-tempat yang baik seperti ke masjid, karena langkah-langkah kita nanti akan dimintai pertanggungjawaban di yaumil hisab.
Memahami perasaan sandal artinya kita memahami perasaan pemilik sandal ketika kita asal main goshob dan asal main curi ketika di masjid. Dan memahami perasaan sandal, artinya kita tidak boleh baper terlalu mendalam ketika sandal kita hilang waktu jamaah di masjid.  Bilal bin Rabah saja langkah sandalnya sudah terdengar di surga,  sementara kita terlalu sering trauma ketika sandal hilang di masjid dan enggan kembali ke sana.
Wallahua’lam.
Muhammad Solich Mubarok
#RelawanLiterasi