Tanggal 10 Agustus tahun lalu M Sohibul Iman resmi dilantik menjadi Presiden PKS. Bila ia mengemban tugas pembenahan secara holistik atas kondisi internal partai, maka salah satu hal yang harus dibenahi itu mirip sekali dengan cuitannya di media sosial twitter, dua hari sebelum ia dilantik.
Pada tanggal 8 Agustus 2015, melalui akun twitternya @msi_sohibuliman ia mengeluhkan ekses melimpahnya informasi yang membuat “kita” (ia gunakan kata kita sebagai ajakan introspeksi) mudah menyebarkan informasi sampah yang disertai cacian.
“Melimpahnya informasi kadang bikin kita menjadi seperti orang bodoh. Dengan mudah kita share info-info sampah, bahkan dengan info-info itu kita tebar caci dan fitnah. Boleh jadi ini paradok paling heboh di era medsos: makin melimpah informasi bukan makin bijak dan penuh hikmah tapi makin ceroboh dan tebar fitnah,” begitu tulisnya.
“Pada kasus ekstrim, ceroboh dan fitnah bisa timbulkanirreversible damage (kerusakan yang tak dapat dipulihkan). Itu kerugian besar. Petaka bagi semua,” imbuhnya lagi.
Mungkin Sohibul Iman mendapati kenyataan ini setelah melihat kondisi sekitarnya di media sosial. Dan sebagai seorang petinggi PKS, bisa ditebak ia dikelilingi oleh kader-kader PKS, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Memang kenyataannya, beberapa kejadian menunjukkan adanya darurat literasi bagi kader PKS. Kasus yang terbaru adalah tersebarnya di kalangan pendukung PKS sebuah tulisan hoax yang menuduh korban penembakan Paris adalah boneka, bukan jasad manusia.
Pabrikasi Isu dan Jebakan
Begitu melimpah bahan untuk dibaca oleh kader partai yang memang terkenal punya hobi membaca. Seorang penulis bernama Erwyn Kurniawan pernah bercerita tentang sosok penjual buku yang selalu mengeluh dagangannya tak begitu laku bila ia jajakan di tengah acara partai. Lantas ada yang menyarankan agar dagangannya itu dijajakan pada acara PKS – sesuatu yang belum pernah dicoba pedagang buku tersebut. Ternyata benar, di acara PKS lah ia bisa mengipas-ngipas lembaran uang dengan penuh senyum.
Itu baru terhadap buku yang untuk memperolehnya harus mengeluarkan uang. Bagaimana lagi bila bahan bacaan itu gratis didapat melalui internet via jejaring sosial, atau aplikasi chatting semisal Whatsapp atau BBM? Kader PKS menikmati benar limpahan informasi ini.
Keluhan Sohibul Iman tadi tentang tabiat manusia di era melimpahnya informasi, berlaku juga buat kader PKS. Puncaknya adalah pada perhelatan pilpres yang lalu. Begitu banyak informasi simpang siur yang sesungguhnya tak layak sebar. Isu Jokowi keturunan Cina, misalnya, sempat dimakan oleh beberapa pendukung PKS di media sosial. Padahal saya dengar langsung dari pengurus PKS di Jawa Tengah bahwa isu itu bohong. Jokowi keturunan Jawa asli.
Sebuah web online punya kontribusi besar dalam penyebaran isu ini. Padahal selama ini web tersebut suka menyudutkan PKS. Terhadap tulisan di web tersebut yang menyudutkan PKS, kader menyangkal. Tetapi terhadap tulisan yang menyudutkan pihak yang berseberangan dengan partainya, kader PKS menelan mentah-mentah tanpa kehati-hatian.
Isu-isu itu seperti dipabrikasi lalu dijadikan “bom” paket yang dikirimkan oleh seorang misterius. Isu Jokowi keturunan Cina memang menjadi “bom” yang sukses meledak di tengah pendukung Prabowo-Hatta. Ada isu lain yang “meledak di tengah jalan”, belum sampai ke tujuan. Misalnya isu “RIP Jokowi” yang belum apa-apa terdeteksi beredar awal dari kalangan pendukung Jokowi-JK. Bisnis.com menulis berita ini dengan judul “WAH…Penyebar ‘RIP Jokowi’ Diduga Pendukung JKW4P Sendiri”.
Perang rumor pada zaman pilpres lalu memang merupakan yang paling parah. Kedua belah kubu pasangan calon sama-sama mendapat gempuran. Salah satu pihak yang disorot dalam penyebaran isu adalah tabloid Obor Rakyat. Media ini bahkan sempat dipolisikan oleh kubu Jokowi-JK. Lalu berselang setahun kemudian, para pendukung Jokowi semakin geram karena bos pimred Obor Rakyat malah menjabat sebagai Komisaris BUMN. Padahal posisi Komisaris BUMN belakangan banyak ditempati oleh para pendukung Jokowi. Lalu di pihak mana sebenarnya Obor Rakyat ini? Apa tujuan kampanye negatif yang dilakukan Obor Rakyat di pilpres lalu? Victim playing kah?
Di tubuh PKS sejatinya sudah banyak yang curiga adanya pabrikasi isu yang bertujuan menjebak dan meruntuhkan reputasi partai. Si pembuat isu ini tampaknya paham karakter kader PKS yang rakus informasi dan militan membela pihak yang didukungnya.
Sebuah isu bombastis dihembuskan ke tengah media sosial, tak menunggu lama agar isu itu tersebar kemana-mana, lalu disiapkan bantahannya yang kuat. Dan reputasi penyebar pun hancur sudah.
Karena itu lah pentingnya melek literasi.
Kecerdasan Literasi Buat Kader PKS
“Di medsos ada orang/kelompok yg hobi menghasut. Ada juga orang/kelompok yang gampang dihasut. Jadilah sinergi penghasut+terhasut. Semua jadi kusut. Ada orang/kelompok yang hanya bisa eksis dengan menghasut. Hakikatnya mereka itu pengecut. Mereka sorak bila kita layani. Kita biarkan mereka mati sendiri,” begitu tulis Sohibul Iman di twitter, mensinyalir nyata adanya pelaku pabrikasi isu dan hasutan.
Sekedar melek informasi tidak cukup. Dan menjadi melek informasi di zaman sekarang justru sangat mudah. Yang dibutuhkan adalah melek literasi. Lebih tinggi dari sekedar melek informasi.
Wikipedia mendefinisikan literasi media sebagai “kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.”
Melek literasi berarti mampu melakukan penilaian terhadap sebuah informasi, bahkan mampu melakukan validasi sehingga tidak terjebak kabar bohong. Juga bisa mendeteksi framing atau spinning sebuah berita.
Salah satu cara memvalidasi kabar adalah dengan tabayun. Itu adalah “kata sakti” yang suka disodorkan kader PKS bila diserang rumor. Artinya, kader PKS paham bagaimana menjadi melek literasi. Saat menyuruh orang lain “tabayun dulu”, artinya kader PKS menuntut orang agar melek literasi.
Bagaimana dengan kader PKS sendiri? Sudahkah mengaplikasikan nasihatnya?
Belajar dari asbabun nuzul turunnya perintah tabayun (mendalami masalah) pada Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 6, sikap menelan bulat-bulat informasi tanpa memeriksanya kembali bisa berujung pada permusuhan hingga pertumpahan darah. Atau istilah yang digunakan Sohibul Iman: irreversible damage.
Harusnya kader PKS menjadi yang terdepan dalam menyikapi rumor. Menjadi teladan bagi masyarakat. Dan sebagaidu’at (pendakwah), tradisi tabayun adalah salah satu poin yang harus didakwahkan dan diteladankan. Karena itu merupakan syariat Islam.
Tabayun tak selalu bermakna bertanya langsung kepada yang tertuduh. Justru sebenarnya yang dimintai bukti adalah pihak penuduh, bukan pihak tertuduh. Ulama merumuskan kaidah fiqh yang berbunyi: “Penuduh wajib membawa bukti, sedangkan tertuduh cukup bersumpah”. Jadi yang perlu diperiksa, dianalisa, dan didekontruksi dalam sebuah isu adalah konten tuduhan. Sudahkah ia dilengkapi bukti-bukti yang valid?
Kecerdasan literasi adalah saat berbagai sumber informasi yang dilahap oleh seseorang mampu membuatnya memiliki wawasan yang menopangnya dalam berfikir. Sehingga bila berargumentasi, hujjah yang dibangun punya landasan yang terujuk, bukan sekedar asal membual. Luasnya wawasan seseorang juga melindunginya dari kabar-kabar bohong. Bukan kah salah satu karakter yang ingin dicapai dalam program pembinaan kepribadian Islam di PKS adalah“mutsqofatul fikr”, atau fikiran yang berwawasan?
Materi ghozwul fikri yang diterima oleh kader PKS melalui pembimbing keislamannya harus ditempatkan dalam posisi yang tepat. Mengabaikan ghozwul fikri, bisa membuat seorang muslim hanyut dalam skenario pihak yang terjangkit islamophobia yang menginginkan umat Islam jauh dari aqidahnya. Tetapi menghayati materi ini di luar batas, bisa membuat paranoid. Sikap begini mudah sekali mengafirmasi kabar-kabar bohong seputar teori konspirasi. Makanya, ada yang menelan mentah-mentah tulisan hoax “korban Paris adalah boneka”.
PKS punya perangkat untuk membuat kadernya melek literasi, melalui program pembinaan keislaman tiap pekan. Di tubuh PKS terdapat juga praktisi jurnalistik, blogger/penulis yang melek literasi, atau pakar informasi yang bisa merumuskan sebuah kurikulum dalam membenahi mental kader PKS di dunia maya. Perlu ada pelatihan menginvestigasi isu. Atau paling banter, menggencarkan nasihat agar mengabaikan kabar yang tidak mampu diverifikasi.
Ikhtiar-ikhtiar tersebut perlu diwujudkan bila benar ada keinginan untuk memperbaiki kemampuan kader PKS dalam berliterasi, sehingga tidak lagi menjadi bulan-bulanan pihak yang mempabrikasi isu.
Zico Alviandri
#RelawanLiterasi
#RelawanLiterasi